Rabu, 15 Februari 2012

AKU, MIKE, KUE BOLU

Putra kami yang berusia sembilan tahun, Mike, pulang dari rapat Club Scout dan mengabarkan bahwa kelompoknya akan menjadi penyelenggara acara jamuan makan dan penjualan kue bolu. Kue bolu harus dibuat oleh anggota Cub Scout dan ayah mereka.
Aku belum pernah membuat kue bolu. Tetapi, karena pernah melihat istriku menggunakan adonan instan, aku menyambut proyek itu tanpa protes.
Ketika saat itu tiba, aku dan Mike memilih adonan kue bolu instan warna kuning. Dengan mengikuti petunjuknya, kami campurkan bahan adonan itu dan menuangkannya ke dalam dua buah loyang bundar. Dengan penuh perAcya diri, kami masukkan kedua loyang itu ke dalam oven. Ketika mengeluarkannya setelah tiga puluh menit berlalu, sesuai dengan petunjuk, aku kaget
karena kue bolu itu tidak tegak dan
empuk seperti yang kulihat dalam iklannya. Bahkan kue bolu itu tidak mengisi separuh loyang. Mike tampaknya tidak melihat hal tersebut, dan lagi pula, aku mengatakan bahwa kue bolu terenak yang pernah kucoba adalah kue bolu yang bantat.
Kami tumpuk kedua kue itu, dan kemudian aku baru tahu bahwa diperlukan gula halus untuk membuat hiasannya. Kami tidak punya gula haslus. Dan kami juga tiak punya waktu. Acara jamuan makan tinggal dua jam lagi.
Aku bahkan tidak tahu seperti apa gula halus itu. Gula ya gula pikirku. Tetapi, istriku dengan lemah lembut membujukku dan mengatakan bahwa gula pasir yang biasa tidak sepenuhnya bisa diterima. Dengan panik aku pergi ke toko swalayan dan pulang membawa sekaleng hiasan yang sudah jadi.
Kami sudah terlambat ke jamuan makan pada saat mengoleskan dan merapikan adonan hiasan ke atas kue bolu itu. Tampak seluruh kue sudah ditutupi dengan hiasan, meskipun disana-sini ada bagian luput. Sebagai sentuhan akhir, kubuat totol-totol kecil sebagai hiasan diatasnya, yang merupakan inspirasi dari cat langit-langit dapur kami yang bertekstur kasar. Aku dan Mike saling bertukar seringai tanda puas. Menurut kami, hiasan kue bolu itu tampak indah.
Istriku tertawa. Kemudian, katanya kue itu manis dan kelihatannya bagus. Tidak kuperhatikan bahwa kue itu agak miring ke satu sisi. Di saat kami bergegas ke acara jamuan makan, sambil lalu Mike mengatakan bahwa penjualan kue bolu itu akan berupa lelang. Sejenak aku berharap tadi punya waktu lama untuk merapikan sentuhan akhir.
Ruangan itu dipenuhi orang. Acara makan malam sudah dimulai, sehingga kami membawa kue bolu kami ke ruang lelang.
Aku terpana. Sebuah meja dipenuhi deretan menakjubkan berbagai adikarya yang dirancang dengan indahnya--- kue bolu berbumbu, kue bolu wortel, kue bolu spons—semuanya dihias indah dan menawan. Mungkin Mike salah tafsir dan ini sebenarnya adalah kompetisi kue bolu tingkat dunia. Mungkin para ayah dan anak telah dibantu oleh para ibu, para penghias kue profesional, dan para insinyur. Mungkin kami berada di tempat yang salah.
Dengan takzim, Mike membawa kue bolu kami ke depan, diatas piring kertas yang tadi kami gunakan untuk menghiasnya dengan gula hias. Karena dilihatnya sudah tidak ada tempat lagi disamping kue lain, dia meletakannya di atas radiator belakang meja. Dengan hati-hati, nyaris dengan penuh hormat, dia membuka foil alumunium yang menutupinya. Gula hiasnya menempel ke foil beberapa bagian, sehingga gula hias itu terkelupas di beberapa tempat dan memperlihatkan kue yang berwarna kuning. Kurasakan wajahku panas memerah saat kuperhatikan Mike, tetapi tampaknya dia tidak malu akan kue ciptaan kami.
Aku memutuskan untuk mengusulkan agar kami tiak usah ikut lelang, bahwa mungkin ......tetapi, pikiran-pikiran itu terputus oleh suara yang memekakkan telinga ketika gelombang baju berseragam biru berukuran kecil merangsek memasuki ruangan.
Aku tidak bisa mendengar peraturannya. Seorang ibu pemimpin pramuka menyampaikan penggalan peraturan itu kepadaku saat anak balitanya memeluk kaki kananku. Hanya para pramuka yang boleh berada diruangan itu dan mengajukan penawaran. Dengan bergegas kutemui Mike dan memberinya uang delapan dolar dan di saat dia bergegas masuk kembali ke ruangan tempat kue, kuteriakkan kepadanya untuk menawar dengan harga rendah, supaya dia bisa mendapatkan banyak kue dengan harga itu.
Setelah lima menit diisi dengan teriakan anak-anak lelaki yang menyuruh teman-teman lelakinya untuk tidak ribut, perjuangan itu pun dimulai. Juru lelang mengangkat kue yang pertama. Dia menguraikan rancangannya, hiasannya yang rumit, isinya yang eksotik, warnanya yang cerah, dan toping cerinya. Dia mengemukakan bahwa semua itu menjamin harga penawaran pertama yang tinggi. “Tujuh puluh lima sen! Delapan puluh sen! Satu dolar! Satu, dua; terjual dengan harga satu dolar.” Kue berikutnya diuraikan dan terjual dengan harga lima puluh sen. Dengan harap-harap cemas, kutunggu reaksi hadirin dan kurasakan kepedihan hatiku.
Putraku mungkin akan berpura-pura tidak mengenal kue kami ketika waktunya tiba. Rasanya aku bisa mendengar suara ejekan dan hinaan.
Aku berusaha memberikan sinyal kepadanya dari seberang ruangan. Dengan putus asa aku mempertimbangkan gagasan untuk pura-pura maju ke depan dan secara tidak sengaja menyenggol kue kami dengan tujuan merusaknya, agar Mike tidak usah menerima hinaan. Nak, cepat beli satu kue bolu itu—kue yang mana saja---lalu, kita segera pulang, pikirku. Wanita disebelahku menatapku dengan mata curiga. Aku pun pasrah. Apakah ini hanya khayalanku saja atau apakah si juru lelang sengaja menghindari kue kami? Aku mulai mendengar orang bergumam diantara hadirin tentang kue yang ada “bercak kuning”nya. Beberapa remaja dibelakangku menyebutnya kue Lepra dan tertawa. Hatiku sakit untuk Mike.
Saat itu pun tiba. Si juru lelang mengangkat kue kami. Piring kertasnya terkulai ke tangannya. Remahnya berguguran. Lubang-lubang dalam gula hias itu berkilauan diterpa cahaya lampu yang terang dari atas. Dia membuka mulut hendak bicara. Tetapi, sebelum dia sempat bicara, Mike sudah berdiri, berteriak sekeras-kerasnya, “Delapan dolar!”
Suasana hening, semua orang terpana. Tidak ada orang lain yang menawar, setelah dua kali memberi kesempatan penawaran, si juru lelang berkata dengan suara lirih, “Baiklah....” Mike berlari ke depan, dengan senyum lebar sekali. Kudengar dia berkata kepada teman-temannya sambil berlari : “Itu kueku! Aku dan Ayahku yang membuat kue itu!”
Dia memberikan kue delapan dolar dan dengan berseri-seri memandang kue itu seakan kue itu harta yang sangat berharga. Sambil tersenyum, dia menerobos kerumunan orang, berhenti sekali untuk mencoba gula hiasnya dengan telunjuknya. Ketika dia melihatku, dia berteriak, “Ayah, aku mendapatkannya!”
“Kue kita.” Kue itu kue kita, tetapi tadi aku melihatnya hanya melalui kacamataku—bukan dengan kacamata anak lelaki kecil istimewa itu yang adalah putraku. Begitu tiba di rumah, kami berdua menyantap kue kami, sebelum Mike pergi tidur. Rasanya lumayan enak. Dan, hei tampilannya juga lumayan bagus.
Sementara si ayah khawatir akan pandangan orang lain---egonya—Mike cilik itu, bangga akan akan karya seninya dan jalinan hubungan kasihnya dengan ayahnya. Apakah ego Anda pernah menghalangi kegembiraan yang mungkin akan luput Anda nikmati, menghalangi jalina hubungan yang penting bagi Anda?

0 komentar:

Posting Komentar