Jumat, 07 Oktober 2011

Beno Si Penjual Sapu


Kota ini sedang sepi, kebanyakan orang memilih berteduh di dalam rumah, menonton TV, FB-an, tidur, ngerumpi, makan, ngopi, yang masih sibuk dengan pekerjaannya, menghabiskan waktu dengan nyamannya dalam ruangan yang tak bocor.
Mataku menatap sekelebat bayangan yang bergegas dalam hujan, memikul 12 batang sapu lidi, tak beralas kaki, perut yang buncit lebih besar dari kaki dan tangannya yang kecil dan bertulang.
Kuletakkan cangkir kopi, bergegas ke luar jalan mencari bayangannya, pandanganku jauh ke bentangan jalan di depanku, bayangannya hilang.
Kulangkahkan kaki kesamping dan mencari ke bangunan di samping kios, ternyata dia melepaskan penat disitu. Sedang membungkuk, meletakkan bebannya sejenak, kebasahan, berteduh.
“Mari,” kataku.
Dia pun datang, mengangkat kembali sapunya, meletakkan di pundaknya dan mendatangiku.
“Sapunya ditaruh disitu, yah dan adik mari masuk.”

Kusajikan segelas teh panas dan beberapa potong roti, untuk dia makan. Tanpa tunggu lama, segera disantapnya dengan lahap.
Namanya Beno, anak kedua dari empat bersaudara. Kakak laki-lakinya duduk di kelas I SMA. Beno sendiri adalah anak kedua, duduk di kelas VI SD, adiknya di kelas IV SD, dan yang bungsu sendiri belum bersekolah.
Pekerjaan ayahnya adalah sopir, dan mama adalah ibu rumah tangga dan juga pembuat sapu lidi. Mereka tinggal di samping pekuburan Katolik Potu. Setiap kali dia berjualan,  jumlah terbanyak yang dia pikul adalah 15 batang, akan beruntung membawa sisa 5 batang, dan jika kurang beruntung sekitar 10 batang, dengan harga jual @Rp 3.000.-/batang.
Kulihat tadi masih tersisa 12 batang sapu. Dan dia akan masih akan berjalan lagi entah sampai sejauh mana dia kuat berjalan, dan menempuh perjalanan baliknya ke rumah. Tidak setiap hari dia berjualan sapu, kalau ada stok sapu yang harus dijual, baru dia akan berjalan untuk menjualnya. Jika tidak maka yang dilakukannya adalah membantu mamanya di rumah.
Hujan telah reda, entah sampai dimana dia saat ini. Wajah itu akan selalu aku ingat. Wajah kecil kurus, yang tak pernah kalah dengan keadaan. Setidaknya dia tidak mengemis dalam kesusahan hidup keluarganya. Orang tuanya pastilah orang tua yang hebat. Aku kagum. Terberkatilah mereka. Kerja keras, tak kenal menyerah, nilai-nilai ini jauh lebih bernilai dari harta apapun juga.
Ketika kutanya apakah cita-citanya...? Malu-malu dan sambil tersenyum, dia menjawab “Saya tidak tahu.”
Ketika dia berlalu, baru kusadari bahwa pertanyaan itu agak konyol untuk ditanyakan. Cita-cita...? Apakah masih sempat untuk dipikirkan? Bisa makan sehari, bisa bersekolah hingga kelas VI itu sudah cita-cita. Dan saya percaya kebesaran hati, perjuangannya tak pernah akan menjadi sia-sia. Cita-cita akan menjadi berkat luar biasa yang tak terbayangkan pada waktunya nanti. Ketika terus percaya, maka akan selalu ada jalan untuk cita-cita, yang tak pernah bisa diungkapkan, yang tak tersuarakan, yang terselubung, namun kan menjadi nyata suatu saat nanti....Amin.

1 komentar:

  1. saya deni pembuat gagang sapu di sumatera utara, silakan cek vidio pabrik saya . hub saya 081919912611 / 085275778974
    https://www.youtube.com/watch?v=xCwOkNtj5Hw
    https://www.youtube.com/watch?v=ai_pNv4NkCg
    https://www.youtube.com/watch?v=EhsFa0kbmXQ
    https://www.youtube.com/watch?v=tIn9_-qjTpo

    http://dowel-indonesia.indonetwork.co.id/

    BalasHapus