Kota ini sedang sepi, kebanyakan orang memilih
berteduh di dalam rumah, menonton TV, FB-an, tidur, ngerumpi, makan, ngopi,
yang masih sibuk dengan pekerjaannya, menghabiskan waktu dengan nyamannya dalam
ruangan yang tak bocor.
Mataku menatap sekelebat bayangan yang bergegas
dalam hujan, memikul 12 batang sapu lidi, tak beralas kaki, perut yang buncit
lebih besar dari kaki dan tangannya yang kecil dan bertulang.
Kuletakkan cangkir kopi, bergegas ke luar jalan
mencari bayangannya, pandanganku jauh ke bentangan jalan di depanku,
bayangannya hilang.
Kulangkahkan kaki kesamping dan mencari ke
bangunan di samping kios, ternyata dia melepaskan penat disitu. Sedang
membungkuk, meletakkan bebannya sejenak, kebasahan, berteduh.
“Mari,” kataku.
Dia pun datang, mengangkat kembali sapunya,
meletakkan di pundaknya dan mendatangiku.
“Sapunya ditaruh disitu, yah dan adik mari masuk.”
Kusajikan segelas teh panas dan beberapa potong
roti, untuk dia makan. Tanpa tunggu lama, segera disantapnya dengan lahap.
Namanya Beno, anak kedua dari empat bersaudara.
Kakak laki-lakinya duduk di kelas I SMA. Beno sendiri adalah anak kedua, duduk
di kelas VI SD, adiknya di kelas IV SD, dan yang bungsu sendiri belum
bersekolah.
Pekerjaan ayahnya adalah sopir, dan mama adalah
ibu rumah tangga dan juga pembuat sapu lidi. Mereka tinggal di samping
pekuburan Katolik Potu. Setiap kali dia berjualan, jumlah terbanyak yang dia pikul adalah 15
batang, akan beruntung membawa sisa 5 batang, dan jika kurang beruntung sekitar
10 batang, dengan harga jual @Rp 3.000.-/batang.
Kulihat tadi masih tersisa 12 batang sapu. Dan dia
akan masih akan berjalan lagi entah sampai sejauh mana dia kuat berjalan, dan
menempuh perjalanan baliknya ke rumah. Tidak setiap hari dia berjualan sapu,
kalau ada stok sapu yang harus dijual, baru dia akan berjalan untuk menjualnya.
Jika tidak maka yang dilakukannya adalah membantu mamanya di rumah.
Hujan telah reda, entah sampai dimana dia saat
ini. Wajah itu akan selalu aku ingat. Wajah kecil kurus, yang tak pernah kalah
dengan keadaan. Setidaknya dia tidak mengemis dalam kesusahan hidup
keluarganya. Orang tuanya pastilah orang tua yang hebat. Aku kagum.
Terberkatilah mereka. Kerja keras, tak kenal menyerah, nilai-nilai ini jauh
lebih bernilai dari harta apapun juga.
Ketika kutanya apakah cita-citanya...? Malu-malu
dan sambil tersenyum, dia menjawab “Saya tidak tahu.”
Ketika dia berlalu, baru kusadari bahwa pertanyaan
itu agak konyol untuk ditanyakan. Cita-cita...? Apakah masih sempat untuk dipikirkan?
Bisa makan sehari, bisa bersekolah hingga kelas VI itu sudah cita-cita. Dan
saya percaya kebesaran hati, perjuangannya tak pernah akan menjadi sia-sia.
Cita-cita akan menjadi berkat luar biasa yang tak terbayangkan pada waktunya
nanti. Ketika terus percaya, maka akan selalu ada jalan untuk cita-cita, yang
tak pernah bisa diungkapkan, yang tak tersuarakan, yang terselubung, namun kan
menjadi nyata suatu saat nanti....Amin.
saya deni pembuat gagang sapu di sumatera utara, silakan cek vidio pabrik saya . hub saya 081919912611 / 085275778974
BalasHapushttps://www.youtube.com/watch?v=xCwOkNtj5Hw
https://www.youtube.com/watch?v=ai_pNv4NkCg
https://www.youtube.com/watch?v=EhsFa0kbmXQ
https://www.youtube.com/watch?v=tIn9_-qjTpo
http://dowel-indonesia.indonetwork.co.id/