Jumat, 11 Februari 2011

MOTHER, MAMA, IBU

Ibu saya hanya memiliki satu mata. saya sangat membencinya, dia sangat memalukan. Dia bekerja sebagai tukang masak untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari, ibu pergi ke sekolah saya hanya untuk melihat saya. Saya merasa sangat malu, bagaimana bisa dia melakukan hal ini kepada saya?
Saya menolaknya, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan berlari menghindarinya. Keesokan harinya di sekolah, teman kelas saya berkata : “Heeee, mamanya hanya punya satu mata saja.” Saya merasa seperti terkubur hidup-hidup, dan ingin rasanya ibu saya menghilang selamanya.
Suatu hari saya berteriak kepadanya : “Jika ibu ingin saya ditertawakan, kenapa ibu tidak mati saja?”



Ibu saya tidak menanggapi pernyataan saya. Dan saya, sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang saya katakan, karena hati dan pikiran saya telah dikuasai kemarahan. Saya tidak mempedulikan perasaan ibu.
Saya keluar dari rumah itu, meninggalkan ibu saya sendiri. Saya belajar sangat keras hingga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi saya ke Singapura. Kemudian saya menikah, memiliki rumah saya sendiri dan dikaruania anak-anak. Saya merasa bahagia dengan apa yang saya miliki saat ini, istri, anak-anak dan kenyamanan.
Suatu hari ibu saya, datang mengunjungi saya. Sudah bertahun-tahun dia tak melihat saya dan juga cucunya. Ibu mengetuk pintu dan anak-anak saya membukakannya pintu.
Anak-anak saya mentertawakannya dan meneriakkan : “Siapa kamu, kamu datang tanpa diundang.” Dan saya berteriak kepadanya :”Beraninya kau datang kesini, dan menakuti anak-anak saya?” Keluar dari sini sekarang. menghadapi semua itu ibu hanya berkata :”Oh maaf, saya salah alamat dan dia segera menghilang dari pandangan mata.”
Pada suatu hari ada surat dialamatkan kerumah saya. Surat undangan untuk reunian di sekolah yang lama. Dan saya menghadirinya.
Selesai acara, terlintas pikiran untuk melihat rumah kecil itu. Sesampainya disana, tetangga saya mengatakan ibu saya telah meninggal. Tak ada setetes air matapun mengalir di pipi saya. Mereka menyerahkan selembar surat di tangan saya dan berkata : “Ibumu ingin kau membacanya.”
“Anakku tersayang. Ibu memikirkanmu setiap saat. Dan maafkan ibu karena kedatangan ibu ke Singapura yang membuat anak-anakmu ketakutan. Ibu gembira sekali sewaktu mengetahui bahwa engkau menghadiri reunian ini. Tapi ibu tidak bisa melihatmu, karena untuk bangun dari tempat tidur inipun ibu tak bisa. Maafkan ibu, karena selalu membuatmu malu di masa-masa pertumbuhanmu. Tahukah kamu, Nak? Waktu engkau kecil dahulu, engku mengalami kecelakaan, dan kehilangan sebelah matamu. Sebagai seorang ibu, ibu tak bisa membiarkanmu hidup hanya dengan satu mata saja. Jadi ibu memberikan mata ibu. Ibu bangga padamu, Nak. Karena engkau dapat melihat seluruh dunia ini dengan mata yang ibu punya.
Dengan penuh cinta
Ibumu.
Saya menitikkan air mata membaca cerita diatas. Sedih dan malu. Karena sampai detik ini masih belum bisa memberikan apa-apa kepada mama saya. Maafkan saya mama, jika dalam perselisihan paham, saya sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Maafkan saya mama, kalau selama ini saya masih tidak ikhlas memberikan sedikit yang saya punya kepada mama. Maafkan saya mama, jikalau saya sering mengkritik apa yang mama buat. Maafkan saya mama, jika terkadang saya acuh tak acuh dengan apa yang mama kerjakan, bermandikan peluh namun saya cenderung sibuk dengan urusan saya. Maafkan saya mama, jika terkadang untuk mengoles minyak di badan mama yang pegal-pegal, setelah bekerja seharian, saya ogah-ogahan. Maafkan saya mama, untuk semua tindakan, perkataan, sikap saya yang menyakiti hati mama.
Saya berjanji untuk lebih tegar dan sabar menghadapimu, mama. Saya tidak punya banyak materi untuk diberikan saat ini, karena belum saatnya. Tapi saya punya banyak tenaga, untuk mencuci pakaian-pakaian kotor mama, untuk memilin pastel-pastel yang dipesan orang, untuk memasak makanan, tenaga yang siap pakai untuk membantumu. Meskipun terkadang batin saya lelah, merasa kurang dihargai.
Tetapi, pada akhirnya saya sadar, sesakit hati apapun yang saya rasakan. Seperih apapun luka yang saya rasakan karena ketidakadilan dan juga kata-kata menyakitkan, mama pasti punya alasan sendiri mengapa melakukan hal itu. Setelah menjadi mama, saya sadar bahwa sakit hati yang kadang saya rasakan, tak ada bandingannya dengan kesakitan yang mama alami ketika menghadirkan saya ke dunia ini. Sedikit materi yang pernah saya berikan tak akan pernah bisa menggantikan peluh, airmata, lelah batin yang telah mama keluarkan untuk membesarkan saya hingga saat ini.
Maafkan saya mama untuk semuanya.
Mama, saya kangen mama saat ini. Saya sayang mama.

0 komentar:

Posting Komentar